Batuan Karbonat
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Geologi,
adalah suatu bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian yang mempelajari segala sesuatu
mengenai planit Bumi beserta isinya yang pernah ada. Merupakan kelompok ilmu
yang membahas tentang sifat-sifat dan bahan-bahan yang membentuk bumi,
struktur, proses-proses yang bekerja baik didalam maupun diatas permukaan bumi,
kedudukannya di Alam Semesta serta sejarah perkembangannya sejak bumi ini lahir
di alam semesta hingga sekarang. Geologi dapat digolongkan sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang komplek, mempunyai pembahasan materi yang beraneka ragam namun
juga merupakan suatu bidang ilmu pengetahuan yang menarik untuk dipelajari.
Ilmu ini mempelajari dari benda-benda sekecil atom hingga ukuran benua,
samudra, cekungan dan rangkaian
pegunungan.
Oleh
karena itu, pembelajaran akan geokimia dalam geologi cukuplah penting. Sebab
dengan metode geokimia, suatu kenampakan geologi dapat diulas lebih jauh secara
proses dan genesa melalui unsur-unsur kimia yang terkandung di dalam suatu
kenampakan geologi berupa mineral, batuan, khususnya pada batuan karbonat.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis membatasi dengan hanya mengkaji masalah-masalah sebagai berikut:
1. Ciri-ciri
kimia batuan karbonat.
2. Lingkungan
pengendapan batuan karbonat terbentuk.
3. Klasifikasi
batuan karbonat batuan karbonat.
4. Komposisi
kimia batuan karbonat.
5. Genesa
batuan karbonat.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Batuan Karbonat
Batuan karbonat adalah batuan dengan
kandungan material karbonat lebih dari 50 % yang tersusun atas partikel
karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil presipitasi
langsung (Rejers & Hsu, 1986). Bates & Jackson (1987) mendefinisikan
batuan karbonat sebagai batuan yang komponen utamanya adalah mineral karbonat
dengan berat keseluruhan lebih dari 50 %. Sedangkan batugamping menurut
definisi Reijers &Hsu (1986) adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat
hingga 95 %. Sehingga tidak semua batuan karbonat adalah batugamping. Ciri
utama batuan karbonat adalah batuan yang memiliki material dengan unsur kimia
karbonat ( CO3 ) lebih dari 50%, dan bereaksi kuat ( berbuih ) jika
terkena larutan HCl.
Secara umum batuan karbonat ini
mengandung fase primer, sekunder dan butiran reworked. Fase primer ini
merupakan mineral presipitasi yang dihasilkan oleh organisme, sementara mineral
karbonat sekunder dihasilkan oleh presipitasi alami non organik yang terjadi saat proses diagenesis berlangsung.
Material reworked ini sama dengan mekanisme yang terjadi pada batuan terigen
klastik yaitu hasil abrasi pelapukan batuan sebelumnya.
Lime
mud merupakan istilah untuk material karbonat dengan butiran yang sangat halus
lebih kecil dari ukuran pasir (kurang lebih kayak matrik or lempung versi
karbonatlah) dibagi dua jenis yaitu micrite yaitu butiran karbonat berukuran
<0.004 mm dan microsparite berukuran atnara 0.004 dan 0.06 mm (Raymond,
2002). Komponen - komponen lainnya ada juga semen karbonat yang genetiknya
lebih kearah diagenesis (sementasi) karbonat dan fragmen yang lebih kasar dalam
batuan karbonat dikenal sebagai allochem (memliki jenis yang macam-macam.
Secara umum dibagi dua, yaitu yang berasal dari cangkang fosil atau skeletal
grain dan fragmen yang bukan dari tubuh fosil atau murni hasil presiptasi).
2.2 Kimia dan Mineralogi Batuan
Karbonat
Batuan karbonat tersusun oleh ion kalsium (Ca2+), ion Magnesium (Mg2+), dan
tentu saja karbonat (CO3-). kalsium adalah logam umum yang dijumpai pada hampir
semua batuan karbonat (baik batugamping maupun dolomit) dan magnesium merupakan
komponen yang penting dalam dolomit. Kadar SiO2nya rendah. Kelimpahan silika
yang banyak pada batuan karbonat tergantung pada kandungan lempung
silisiklastik yang ikut terendapkan bersama butiran karbonat yang mengakibatkan
kadar besi, silikat, dan alumina juga meningkat saat dianalisis kandungan
kimianya.
Banyak juga unsur lain yang hadir
sebagai komponen minor atau elemen jejak. Elemen-lemen jejak ini seperti: B,
Be, Ba, Sr, Br, Cl, Co, Cr, Cu, Ga, Ge, dan Li. Konsetnrasi elemen jejak ini
dikontrol bukan hanya oleh mineralogi dari batuan tapi juga oleh tipe dari
kelimpahan relatif dari butiran fosil skeletal dalam batuan. Banyak konsetnrat
organisme dan unsur jejak yang ikt terbawa oleh fosil konsentrat ini
diantaranya Ba, Sr, dan Mg dalam struktur sekeltalnya.
Pada batuan
karbonat secara umum komposisi mineral utamanya adalah aragonite.
Aragonit ini akan berubah menjadi
kalsit dan dolomit. Kalsit (CaCO3) juga mengandung magnesium dalam
formulanya. Pada kristal rombohedral kalsit kalsium dapat diganti oleh
magnesium yang mampu ‘mempertahankan’ struktur yang sama ketika kalsium ini
larut dalam air untuk membentuk polimorf dolomit. Ion magnesium dan ionkalsium ini mempunyai
ukuran yang sama. Maka, kita mengenal istilah low-magnesium calcite (atau
disebut kalsit) nilai MGCO3nya kurang dari 4% dan high magnesian calcite
mengandung MgCO3 lebih dari 4%.
Kandungan kalsit yang tinggi ini menjadikan batugamping berubah menjadi
dolomit. Dikenal juga istilah stoichiometric dolomite, merupakan jenis dolomite
dengan perbandingan mol massa Mg dan Ca dalam dolomite 50% dan susunan ioannya
teratur, beberapa sumber lain menyebutkan (wikipedia dimana lagi) bahwa suhu
yang tinggi (mencapai 100 deg C) mampu mempercepat pertukaran ion Mg dan Ca
dalam struktur yang teratur maka produknya disebut stoichiometric dolomite
tadi.
Mineralogi dan kimia dari sedimen
karbonat dapat secara kuat dipengaruhi oleh komposisi fosil organisme
kalkareous yang hadir, sebagai contoh, banyak moluska seperti pelecypoda,
gastropoda, pteropoda, chotons, dan chepalopoda, alga hijau, stromatoporoid,
scleractinian corals, dan annelida (skeletal grain semua) membentuk cangkang
aragonit. Echinoid, crinoid, foram bentik, dan corallin alga merah secara umum
kaya akan magnesium kalsit. Beberapa organisme lain yang mensekresi karbonat seperti
foram planktonik, coccolith, dan brachiopoda, memiliki low-magnesian calcite
pada cangkangnya.
Beberapa studi elemen jejak telah
dilakukan pada mienral karbonat (Parekh et al 1977., Tlig dan M’RAbet 1985;
Thomas, 1993). Secara umum nilai elemen
rendah, karena kebanyakan unsur jejak tidak mengganti secara langsung
unsur unsur lain dalam mineral karbonat (originnya gak bareng sama
keterbentukan karbonat itu sendiri). Sebagai contoh dolostone dan batugamping
(induk) yang berhubungan di Tunisia memiliki kelimpahan REE yang rendah (Tlig
dan M’RAbet, 1985). lebih jauh lagi, kerja Tlig dan M’Rabet ini menunjukan
bahwa dolomitisasi tidak menghasilkan perubhan radikal dari bentuk pola REE
yang hadir tapi menurunkan nilai REE secara umum. maka, jika pola REE terntentu
menggambarkan provenance atau kondisi lingkungan pengendapan, pola ini dapat
terpreservasi selama proses diagensis.
Analisis isotop dari material karbonat
lebih umum dipakai dalam aspek geokimia karbonat dibandingkan studi unsur
jejak. Studi-studi isotop yang digunakan, dimanfaatkan untuk menunjukan nature
(ciri alami) dan jumlah relatif dari kehadiran air selama pengendapan atau
diagenesis (Land, 1980). isotop stabil yang dipakai disini adalah hidrogen,
karbon, dan oksigen (rasio oksigen 18 dan 16 sering dipake disini).
Menurut Milliman (1974), Folk (1974) dan
Tucker dan Wright (1990) mengungkapkan bahwa mineral karbonat yang penting
menyusun batuan karbonat adalah aragonit (CaCO3), kalsit (CaCO3) dan dolomit
(CaMg(CO3)2). Selain mineral utama tersebut beberapa mineral sering pula
dijumpai dalam batuan karbonat yaitu magnesit (Mg CO3), Rhodochrosite (MnCO3)
dan siderit (Fe CO3).
Tabel 2.1 sifat petrografis mineral
pembentuk batuan karbonat
Jenis mineral yang umum dijumpai
tersebut mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda seperti yang ditunjukkan
pada tabel di atas. Walaupun ketiganya umum dijumpai pada batuan karbonat namun
yang paling umum adalah kalsit khususnya untuk batuan-batuan tua. Hal ini disebabkan
karena adanya perubahan atau diagenesa dimana mineral aragonit cenderung
berubah menjadi kalsit, seperti yang terlihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Komposisi Kimia dan
Mineral Karbonat yang Umum Dijumpai (Sam Boggs,
1978)
2.3 Lingkungan Pengendapan Batuan
Karbonat
Batuan karbonat terbentuk melalui proses
biologis, biokimia dan presipitasi anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu cekungan
(Scoffin, 1987). Menurut (Pirson, 1958), batuan karbonat terbentuk pada lingkungan
laut dangkal, dimana pada lingkungan tersebut tidak terjadi pengendapan
material asal daratan. Hal ini memungkinkan pertumbuhan organisme laut misalnya
koral, ganggang, bryozoa, dan
sebagainya. Cangkang-cangkang dari organisme tersebut mengandung mineral
aragonit yang kemudian berubah menjadi mineral kalsit. Proses pembentukan
batuan karbonat akan terus berlangsung, bila keadaan laut relatif dangkal. Hal
ini dapat terjadi bila ada keseimbangan antara pertumbuhan organisme dan
penurunan dasar laut tempat terbentuknya batuan tersebut, sehingga dapat
menghasilkan batuan karbonat yang tebal.
Sementara menurut (Landes, 1959), selain
dipengaruhi oleh lingkungan laut dangkal dan tanpa adanya pengendapan material
asal daratan, pembentukan batuan karbonat membutuhkan lingkungan pengendapan
dengan syarat-syarat khusus sebagai berikut:
1.
Dasar laut yang relatif datar dan
stabil.
2.
Kedalaman laut yang dangkal.
3.
Suhu air yang relatif hangat (± 38° C).
4.
Ombak yang tidak begitu besar.
5.
Tidak ada arus yang besar dan kuat.
6.
Kegaraman air laut sekitar 13% (permil).
Gambar 2.1
ilustrasi lingkungan pengendapan batuan karbonat yang baik (James &
Bourque, 1992 dalam Rizqi Amelia Melati, 2011)
Syarat-syarat
kondisi yang ideal untuk pembentukan batuan karbonat antara lain sebagai
berikut:
a. Jernih
Batuan karbonat
dihasilkan dari sekresi organisme laut dan presipitasi dari air laut secara
kimiawi. Hal ini mengandung arti bahwa pembentukan batuan karbonat juga
tergantung pada organisme. Sementara organisme laut membutuhkan kondisi laut
yang jernih agar sinar matahari dapat masuk tanpa terganggu.
b. Dangkal
Dangkal disini
diartikan sebagai batas sinar matahari dapat masuk ke laut. Batas ini sering
disebut zona fotik yaitu zona yang dapat ditembus oleh matahari sebagai syarat
utama untuk melakukan proses fotosintesis oleh organisme. Batas kedalaman yang
harus diperhatikan adalah carbonate compensation depth (CCD) yaitu batas
kedalaman untuk mineral karbonat terendapkan.
c. Hangat
Organisme
karbonat biasanya hidup pada temperatur ± 36° C. Kondisi yang hangat ini
berhubungan dengan syarat kedalaman yang masib bisa ditembus oleh sinar matahari.
d. Salinitas
Batuan
karbonat memiliki kisaran salinitas antara 22% - 40% namun terbentuk pada
kisaran 25% - 35%. Oleh sebab itu, lingkungan laut merupakan kondisi dengan salinitas yang relatif
tinggi sehingga batuan karbonat dapat terbentuk dengan baik.
Gambar 2.2. Penampang yang memperlihatkan hubungan
produksi mineral karbonat terhadap kedalaman laut, Modifikasi (Tucker &
Wright, 1990)
Selain
kedalaman laut, produktifitas mineral karbonat juga ditentukan oleh organisme
penyusun batuan karbonat. Beberapa jenis organisme mempunyai komposisi mineral
karbonat yang tertentu seperti koral yang umum dijumpai sebagai penyusun batuan
karbonat modern memiliki komposisi mineral aragonit, sedangkan organisme
lainnya seperti algae, foraminifera umumnya tersusun oleh mineral kalsit.
Mineral utama tersebut mempunyai
lingkungan pembentukan tersendiri. Mineral aragonit terbentuk pada lingkungan
yang mempunyai temperatur tinggi dengan penyinaran matahari yang cukup,
sehingga batuan karbonat yang tersusun oleh komponen dengan mineral aragonit
merupakan produk laut dangkal dengan kedalaman sekitar 2000 meter, namun
perkembangan maksimum adalah hingga kedalaman 200 meter.
Tabel
2.3. Komposisi mineral setiap organisme yang umum dijumpai pada batuan karbonat
modern. (Sumber: Flügel, 1982 modifikasi)
Indikasi
organisme tersebut sebenarnya juga menjadi indikasi lingkungan pengendapan yang
paling baik. Hal ini juga berlaku jika ditinjau dari segi mineralogi organisme
tersebut. Koral misalnya yang berkomposisi aragonit, dimana aragonit hanya
ditemukan pada kedalaman hingga 2000 meter, maka dapat dikatakan bahwa koral
yang menyusun batuan karbonat umumnya pada lingkungan laut dangkal.
Ketiga mineral utama tersebut mempunyai
lingkungan pembentukan tersendiri. Mineral aragonit terbentuk pada lingkungan
yang mempunyai temperatur tinggi dengan penyinaran matahari yang cukup,
sehingga batuan karbonat yang tersusun oleh komponen dengan mineral aragonit
merupakan produk laut dangkal dengan kedalaman sekitar 2000 meter, namun
perkembangan maksimum adalah hingga kedalaman 200 meter. Sedangkan mineral
kalsit merupakan mineral yang stabil dalam air laut dan dekat permukaan kulit
bumi. Mineral kalsit tersebut masih bisa ditemukan hingga kedalam laut mencapai
4500 meter.
Wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit
mulai melarut pada kedalaman sekitar 600 meter disebut lysocline dan pada
kedalaman sekitar 2000 meter merupakan zona dimana aragonit tidak terbentuk
lagi atau dikenal sebagai Aragonite Compensation Depth (ACD). Sedangkan mineral
kalsit mulai melarut pada kedalaman
sekitar 3000 meter dan pada kedalaman sekitar 4200 meter tidak ditemukan lagi
mineral karbonat atau disebut Calcite Compensation depth (CCD).
Gambar
2.3 Diagram yang memperlihatkan hubungan antara zona-zona mineral karbonat terhadap
lingkungan pengendapan pada laut modern (Sam Boggs, 1978)
2.4 Klasifikasi Batuan Karbonat
1. Klasifikasi
menurut Folk
Folk membuat klasifikasi berdasarkan apa
yang dilihatnya melalui mikroskop atau lebih bersifat deskriptif, sedangkan
Dunham lebih melihat batuan karbonat dari aspek deskriptif dan genesis,
sehingga dalam klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan kenampakan dibawah
mikroskop tetapi juga kenampakan lapangan (field observation). Klasifikasi Folk
menuntun kita untuk mendeskripsi batuan karbonat tentang apa yang dilihat dan
hanya sedikit untuk dapat menginterpretasikan apa yang dideskripsi tersebut.
Sebenarnya batuan karbonat merupakan batuan yang mudah mengalami perubahan
(diagenesis) oleh karena itu studi tentang batuan karbonat tidak akan
memberikan hasil yang maksimal jika tidak mengetahui proses-proses yang terjadi
pada saat dan setelah batuan tersebut terbentuk.
Kelemahan klasifikasi Folk tersebut
diperbaiki oleh Dunham dan membuat klasifikasi baru dengan mempertimbangkan
berbagai aspek. Kelebihan klasifikasi Dunham (1962) adalah adanya perpaduan
antara deskriptif dan genetik dalam pengklasifikasian batuan karbonat.
Gambar 2.4. Klasifikasi batuan karbonat menurut Folk
2. Klasifikasi
menurut Dunham (1962)
Klasifikasi Dunham (1962)Klasifikasi ini
didasarkan pada tekstur deposisi dari batugamping, karena menurut Dunham dalam
sayatan tipis, tekstur deposisional merupakan aspek yang tetap. Kriteria dasar
dari tekstur deposisi yang diambil Dunham (1962) berbeda dengan Folk (1959).
Kriteria Dunham lebih condong pada
fabrik batuan, misal mud supported atau grain supported bila ibandingkan dengan
komposisi batuan. Variasi kelas-kelas dalam klasifikasi didasarkan pada
perbandingan kandungan lumpur. Dari perbandingan lumpur tersebut dijumpai 5
klasifikasi Dunham (1962). Nama nama tersebut dapat dikombinasikan dengan jenis
butiran dan mineraloginya. Batugamping dengan kandungan beberapa butir
(<10%) di dalam matriks lumpur karbonat disebut mudstone dan bila mudstone
tersebut mengandung butiran yang tidak saling bersinggungan disebut wackestone.
Lain halnya apabila antar butirannya saling bersinggungan disebut packstone / grainstone.
Packstone mempunyai tekstur grain
supported dan punya matriks mud. Dunham punya istilah Boundstone untuk
batugamping dengan fabrik yang mengindikasikan asal-usul komponenkomponennya
yang direkatkan bersama selama proses deposisi.
Klasifikasi Dunham (1962) punya
kemudahan dan kesulitan. Kemudahannya tidak perlu menentukan jenis butiran
dengan detail karena tidak menentukan dasar nama batuan. Kesulitannya adalah di
dalam sayatan petrografi, fabrik yang jadi dasar klasifikasi kadang tidak
selalu terlihat jelas karena di dalam sayatan hanya memberi kenampakan 2
dimensi, oleh karena itu harus dibayangkan bagaimana bentuk 3 dimensi batuannya
agar tidak salah tafsir. Pada klasifikasi Dunham (1962) istilah-istilah yang
muncul adalah grain dan mud. Nama-nama yang dipakai oleh Dunham berdasarkan
atas hubungan antara butir seperti mudstone, packstone, grainstone, wackestone
dan sebagainya. Istilah sparit digunakan dalam Folk (1959) dan Dunham (1962)
memiliki arti yang sama yaitu sebagai semen dan sama-sama berasal dari
presipitasi kimia tetapi arti waktu pembentukannya berbeda.
Sparit pada klasifikasi Folk (1959)
terbentuk bersamaan dengan proses deposisi sebagai pengisi pori-pori. Sparit
(semen) menurut Dunham (1962) hadir setelah butiran ternedapkan. Bila kehadiran
sparit memiliki selang waktu, maka butiran akan ikut tersolusi sehingga dapat
mengisi grain. Peristiwa ini disebut post early diagenesis. Dasar yang dipakai
oleh Dunham untuk menentukan tingkat energi adalah fabrik batuan. Bila batuan
bertekstur mud supporteddiinterpretasikan terbentuk pada energi rendah karena
Dunham beranggapan lumpur karbonat hanya terbentuk pada lingkungan berarus
tenang. Sebaliknya grain supported hanya terbentuk pada lingkungan dengan
energi gelombang kuat sehingga hanya komponen butiran yang dapat mengendap.
Gambar 2.5 Klasifikasi batuan
karbonat menurut Dunham (1962)
3. Klasifikasi
Menurut Embry & Klovan (1971)
Klasifikasi batuan karbonat menurut
Embry dan klovan ini merupakan modifikasi dari klasifikasi yang diusulkan oleh
Dunham (1962). Berbeda dengan Folk, klasifikasi Dunham dan modifikasinya oleh
Embry & Klovan (1971), dan James (1984) lebih berdasarkan pada tekstur
pengendapan. Oleh sebab itu klasifikasi ini lebih cocok digunakan pada
pengamatan lapangan menggunakan lup. Sebagai contoh, jika butiran batugamping
saling bersentuhan, dan tidak mengandung mud, maka batugamping tersebut
termasuk grainstone. Jika batugamping grain supported tetapi mengandung sedikit
mud, maka dinamakan packstone. Jika batugamping mud supported tetapi mengandung
butiran lebih dari 10%, maka dinamakan wackestone, dan batugamping mud
supported mengandung butiran kurang dari 10% dinamakan mudstone.
Gambar 2.6 Klasifikasi batuan
karbonat Menurut Embry & Klovan (1971)
4. Klasifikasi
Menurut Mount (1985)
Klasifikasi
Mount (1985) merupakan klasifikasi deskriptif. Menurutnya sedimen campuran
memiliki empat komponen :
(1)
Silisiclastic sand (kuarsa, feldspar yang berukuran pasir),
(2)
Mud campuran silt dan clay),
(3)
Allochem butiran karbonat seperti pelloid, ooid, bioklas, dan intraklas yang
berukuran >20 µm), dan lumpur karbonat atau mikrit (berukuran <20 µm). Komponen-komponen
tersebut suatu tetrahedral yang memiliki pembagian delapan kelas umum dari
sedimen campuran. Nama-nama tiap kelas menggambarkan baik tipe butir dominan
maupun komponen antitetik yang melimpah sebagai contoh : batuan yang mengandung
material silisiklastik >50 % berukuran pasir dengan sedikit allochem maka
disebut allochemical sandstone.
2.5 Genesa Batuan Karbonat
Batuan karbonat merupakan salah satu
jenis batuan sedimen non silisiklastik. Pada batuan ini terkandung fraksi
karbonat yang lebih besar jumlahnya
daripada fraksi non karbonat, jumlah fraksi karbonatnya lebih dari 50%. Selama
pembentukannya, batuan karbonat melalui serangkaian proses-proses yang disebut
diagenesa. Dengan kata lain diagenesa adalah perubahan yang terjadi pada
sedimen secara alami, sejak proses pengendapan awal hingga batas (onset) dimana
metamorfisme akan terbentuk. Setelah proses pengendapan berakhir, sedimen
karbonat mengalami proses diagenesa yang dapat menyebabkan perubahan kimiawi
dan mineralogi untuk selanjutnya mengeras menjadi batuan karbonat.
Proses diagnesa sangat berperan dalam
menentukan bentuk dan karakter akhir batuan sedimen yang dihasilkannya. Proses
diagenesa akan menyebabkan perubahan material sedimen. Perubahan yang terjadi
adalah perubahan fisik, mineralogi dan kimia. Pada batuan karbonat, diagenesa
merupakan proses transformasi menuju batugamping atau dolomit yang lebih
stabil. Faktor yang menentukan karakter akhir produk diagenesa antara lain :
1. Komposisi
sedimen mula-mula
2. Sifat
alami fluida interstitial dan pergerakannya
3. Proses
kimia dan fisika yang bekerja selama diagenesa
Dengan melihat faktor-faktor tersebut
dapat diketahui bahwa batuan karbonat dengan komposisi utama kalsit akan
mengalami proses diagenesa yang berbeda dibandingkan dengan batuan karbonat
yang berkomposisi dominan aragonit maupun juga dolomit. Lingkungan pelarutan
dan lithifikasi yang berbeda, misal di lingkungan air laut dan air tawar akan
menghasilkan batuan yang berbeda. Demikian juga halnya dengan tekstur semen dan
butiran batuan, juga akan bervariasi bergantung pada tekanan dan temperatur
lingkungan diagenesanya.
Lingkungan diagenesa yang berbeda akan
memiliki proses kimia dan fisika yang relatif berbeda pula, sehingga produk
diagenesanya pun akan berbeda. Hal inilah yang dapat dijadikan indikator untuk
mengetahui lingkungan diagenesa yang bersangkutan. Ada beberapa lingkungan diagenesa
beserta produknya, yaitu:
1.
Marine (dicirikan oleh kehadiran semen
aragonit, High Mg-Calcite)
2.
Lagoon (dicirikan oleh adanya
dolomititsasi akibat proses evaporasi)
3.
Phreatic (dicirikan oleh kehadiran
kalsit hasil pelarutan)
4.
Vadose (dicirikan oleh kehadiran kalsit
hasil pelarutan)
5.
Burial (dicirikan oleh kehadiran kalsit
hasil pelarutan tekanan/pressure solution
Gambar 2.7. penggambaran diagenesa
batuan karbonat
Proses-proses diagenesa batuan karbonat
meliputi:
1.
Pelarutan
(Dissolution)
Merupakan proses melarutnya komponen
karbonat yang terjadi saat fluida pori tidak jenuh (undersaturated) oleh
mineral-mineral karbonat. Pelarutan akan terbantu oleh adanya mineral yang bisa
larut (mineral karbonat yang tidak stabil seperti aragonit dan Mg-calcite), serta
nilai pH yang rendah (lingkungan menjadi asam). Fluida air pori yang ada dalam
ruang antar butiran pada batuan karbonat biasanya akan sangat “agresif”
melarutkan karbonat jika terkandung konsentrasi gas CO2 yang disumbangkan oleh
lingkungan sekitar (misalnya karbon dan oksigen yang dilepaskan oleh jasad
oganik). Pelarutan karbonat kurang banyak terjadi di lingkungan laut. Tapi
justru banyak terjadi pada lingkungan darat atau manapun yang ada perkolasi
(rembesan) dari air meteorik (air hujan maupun air tawar). Bentang alam karst
merupakan hasil dari proses pelarutan batuan karbonat. Pembentukkannya dipengaruhi oleh proses pelarutan yang sangat
tinggi di bandingkan dengan batuan di tempat lainnya dimanapun. Proses
pelarutan tersebut umumnya dibarengi dengan proses-proses lainnya seperti
runtuhan, transport dalam bentuk larutan melalui saluran bawah tanah, juga
longsoran dan amblesan dipermukaan. Pelarutan yang terjadi secara terus
menerus, pada akhirnya menciptakan bentukan alam yang sangat beragam. Proses
pelarutan tersebut dapat digambarkan dalam reaksi kimia yaitu :
CaCO3 +
CO2+H2O ==>
Ca2- + 2HCO3-
(batu gamping) (air hujan) (larutan batu gamping)
Salah satu bentangan Karst yang ada di
Indonesia yaitu Kawasan Karst Gunung Sewu, dimana daerah ini memiliki topografi
Karst yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan kapur. Kabupaten Wonogiri
merupakan bagian dari bentangan Karst Gunung Sewu yang dimana daerah ini
memiliki topografi karst yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan kapur.
Secara umum, pelarutan karena pergerakan
air melewati batuan karbonat akan melarutkan mineral karbonat yang dilewatinya,
maka imbasnya: (1) air akan berubah kimianya (karena adanya konsentrasi ion
karbonat di dalamnya), (2) air akan masuk ke litologi berbeda atau sebaliknya
air datang membawa material ”asing” dari batuan lain sebelum menerobos karbonat
dan membawa sistem baru, (3) perilaku pelarutan bergantung pada variabel
kontrol kelarutannya (misalnya P, T, Eh, PCO2, dll) (Raymond, 2002).
Pelarutan karbonat lebih intensif
terjadi di daerah permukaan, sedangkan hal sebaliknya terjadi di daerah bawah
permukaan. Hal ini disebabkan karena peningkatan temperatur pada kedalaman
cenderung akan menurunkan tingkat kelarutan karbonat. Kelarutan karbonat akan
meningkat di kedalaman atau dimanapun asalkan ada penambahan gas CO2 dalam air
pori (yang bisa saja berasal dari hasil pembusukan jasad organisme yang
tertimbun), maka meskipun temperatur meningkat kalau terdapat konsentrasi gas
CO2 dalam air pori, mineral-mineral karbonat yang ada tetap akan larut.
Gambar 2.8. sayatan batuan karbonat
yang memperlihatkan bentukan akibat proses pelarutan
2.
Sementasi
(Cementation)
Merupakan proses presipitasi yang
terjadi pada saat lubang antar pori batuan karbonat terisi oleh fluida jenuh
karbonat. Dalam proses ini butiran-butiran sedimen direkat oleh material lain
yang terbentuk kemudian, dapat berasal dari air tanah atau pelarutan
mineral-mineral dalam sedimen itu sendiri. Proses ini merupakan proses
diagenetik yang penting untuk semua jenis batuan sedimen, termasuk didalamnya
batuan karbonat. Di lantai laut, sementasi terjadi di air hangat dalam pori
dari butiran ruangan antar butiran karbonat. Di meteoric realm (lingkungan
meteorik dimana pengaruh air yang hadir hanya dari hujan saja) sementasi juga
hadir disini, semennya dominan kalsit. Meskipun kondisi yang mengontrol
sementasi pada kedalaman kurang dipahami pasti, tapi beberapa faktor dapat
diketahui mengontrol hal ini. Air pori, peningkatan temperatur, dan penurunan
tekanan parsial dari karbondioksida merupakan faktor-faktor yang diperlukan
untuk presipitasi semen kalsit ini. Pada proses sementasi ini diperlukan suplai
kalsium karbonat secara mutlak. Sifat sementasi ini berlawanan dengan
pelarutan, dimana sementasi membuat mineral semen (karbonat) terpresipitasi,
sementara pelarutan akan merusak struktur mineral yang telah terbentuk.
3.
Dolomitisasi
(Dolomitization)
Merupakan proses penggantian
mineral-mineral kalsit menjadi dolomit. Dolomit mempunyai komposisi CaMg(CO3)2
dan secara kristalografi serupa dengan kalsit, namun lebih besar densitasnya,
sukar larut dalam air, dan lebih mudah patah (brittle). Secara umum, dolomit
lebih porous dan permeable dibandingkan limestone. Dalam proses dolomitisasi,
kalsit (CaCO3) ditransformasikan menjadi dolomite (CaMg(CO3)2) menurut reaksi kimia :
2CaCO3 + MgCl3 ==>
CaMg(CO3)2 + CaCl2
Menurut para ahli, batugamping yang
terdolomitasi mempunyai porositas yang lebih besar dari pada batugamping itu
sendiri. Dolomitisasi bisa terjadi dilaut dangkal-campuran fresh dan sea water,
tidal flat, di danau, lagoon, dll, apalagi kalau ada batuan yang mengandung Mg
yang dilewati sungai-sungai dan membawanya ke lingkungan dimana batu gamping
berada atau terjadi.
4.
Aktivitas
Organisme (Microbial Activity)
Aktifitas organisme akan mempercepat
atau memacu terjadinya proses diagenesis lainnya. Organisme yang menyebabkan
proses ini merupakan organisme yang sangat kecil (mikrobia) dimana aktivitas
jasad renik sangat berhubungan dengan proses dekomposisi material organik.
Proses dekomposisi material organik akan mempengaruhi pH air pori sehingga
mempercepat terjadinya reaksi kimia dengan mineral penyusun sedimen. Aktifitas
mikrobia antara lain fermentasi, respirasi, pengurangan nitrat, besi, sulfat
dan pembentukan gas metana. Organisme dalam lingkungan pengendapan karbonat
merework sedimen dalam bentuk jejak boring, burrowing, dan sedimen-ingesting
activity (memakan dan mencerna sedimen). Aktivitas ini akan merusak struktur
sedimen yang berkembang pada sedimen karbonat dan meninggalkan jejak-jejak
aktivitasnya saat organisme ini beraktivitas. Kebanyakan bioturbasi terjadi
pada sedikit di bawah permukaan pengendapan, setelah pengendapan material
sedimen dengan kedalaman beberapa puluh sentimeter. Proses ini akan membentuk
kenampakan yang khas pada batuan sedimen yang disebut struktur sedimen.
Semua jenis organisme kecil macam fungi
bakteri, dan alga, membentuk microboring dalam fragmen skeletal dan butiran
karbonat lainnya yang berukuran besar. Boring dan presipitasi mikrit dapat
intensif di lingkungan yang berair hangat dimana butiran karbonat menjadi
berkurang dan terubah menjadi mikrit, proses pada kondisi ini dikenal sebagai
mikritisasi (Boggs, 2006). Di beberapa kasus, aktivitas organisme ini dapat
meningkatkan kompaksi batuan dan biasanya merusak struktur sedimen yang halus
seperti paralel laminasi (Purdy, 1965). Selama proses ini beberapa organisme
melepaskan material presipitasi yang bisa menjadi fase semen dalam batuan
(Raymond, 2002).
5.
Mechanical
Compaction
Merupakan proses diagenesa yang terjadi
akibat adanya peningkatan tekanan overburden. Seperti halnya pada batuan
silisiklastik, kompaksi terjadi karena adanya pembebanan sedimen yang berada
diatasnya. Proses kompaksi ini menyebabkan berkurangnya porositas batuan,
karena terjadi juga thining (penipisan) dari bed (perlapisan batuan) pada
kedalaman dangkal. Seiring bertambahnya kedalaman, tekanan juga akan bertambah,
sedangkan porositas karbonat berkurang sampai setengahnya atau lebih (porositas
saat batuan mengendap) sekitar 50-60% pada kedalaman sekitar 100 m (Boggs,
2006). Proses kompaksi ini terjadi karena adanya gaya berat/gravitasi dari
material-material sedimen yang semakin lama semakin bertambah sehingga volume
akan berkurang dan cairan yang mengisi pori-pori akan bermigrasi ke atas,
menyebabkan hubungan antar butir menjadi lebih lekat dan juga air yang
dikandung dalam pori terperas keluar.. Kompaksi menyebabkan berkurangnya
porositas batuan karena adanya rearangement (penyusunan ulang) dari butiran
butiran yang jarang (tidak bersentuhan) menjadi saling bersentuhan atau makin
rapat. Ketika sedimen pertama kali terendapkan tentu saja berupa material lepas
(loose) dan sifatnya porous (berpori), ketika kompaksi terjadi material lepas
ini akan menjadi lebih rapat dan padat yang otomatis akan mengurangi
porositasnya.
Berikut adalah gambaran butiran sedimen
karbonat sebelum dan sesudah mengalami kompaksi:
6.
Chemical
Compaction
Pada kedalaman burial sekitar 200-1500
m, kompaksi kimia dari sedimen karbonat dimulai. Tekanan larutan pada kontak
antar butiran seperti pada diagenesa sedimen klastik lainnya akan melarutkan
permukaan butiran mineral dan pada karbonat dapat membentuk kontak bergerigi.
Pada skala yang lebih besar pressure solution pada batuan karbonat membentuk
pola bergerigi (zig-zag) yang kita kenal sebagai struktur styolite. Styolite
umumnya hadir pada batuan karbonat berbutir halus. Jadi pressure solution pada
batuan karbonat diikuti perkembangan strktur styolite, mencirikan hilangnya
porositas dan thining (penipisan) dari bed (perlapisan batuan).
Pada batuan karbonat terkadang tidak
mengalami semua proses diagenesa tersebut, namun biasanya justru hanya melalui
beberapa proses diagenesa saja. Proses diagnesa ini akan sangat berperan dalam
menentukan bentuk dan karakter akhir batuan sedimen yang dihasilkannya
KESIMPULAN
1.
Batuan karbonat adalah batuan dengan
kandungan material karbonat lebih dari 50 % yang tersusun atas partikel
karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil presipitasi
langsung (Rejers & Hsu, 1986). Bates & Jackson (1987) mendefinisikan
batuan karbonat sebagai batuan yang komponen utamanya adalah mineral karbonat
dengan berat keseluruhan lebih dari 50 %. Sedangkan batugamping menurut
definisi Reijers &Hsu (1986) adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat
hingga 95 %. Sehingga tidak semua batuan karbonat adalah batugamping. Ciri
utama batuan karbonat adalah batuan yang memiliki material dengan unsur kimia
karbonat ( CO3 ) lebih dari 50%.
2.
Batuan karbonat terbentuk melalui proses
biologis, biokimia dan presipitasi anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu
cekungan (Scoffin, 1987). Menurut (Pirson, 1958), batuan karbonat terbentuk
pada lingkungan laut dangkal, dimana pada lingkungan tersebut tidak terjadi
pengendapan material asal daratan. Hal ini memungkinkan pertumbuhan organisme
laut misalnya koral, ganggang, bryozoa,
dan sebagainya. Cangkang-cangkang dari organisme tersebut mengandung
mineral aragonit yang kemudian berubah menjadi mineral kalsit. Proses
pembentukan batuan karbonat akan terus berlangsung, bila keadaan laut relatif
dangkal. Hal ini dapat terjadi bila ada keseimbangan antara pertumbuhan organisme
dan penurunan dasar laut tempat terbentuknya batuan tersebut, sehingga dapat
menghasilkan batuan karbonat yang tebal.
Sementara
menurut (Landes, 1959), selain dipengaruhi oleh lingkungan laut dangkal dan
tanpa adanya pengendapan material asal daratan, pembentukan batuan karbonat
membutuhkan lingkungan pengendapan dengan syarat-syarat khusus sebagai berikut:
1.
Dasar laut yang relatif datar dan
stabil.
2.
Kedalaman laut yang dangkal.
3.
Suhu air yang relatif hangat (± 38° C).
4.
Ombak yang tidak begitu besar.
5.
Tidak ada arus yang besar dan kuat.
3.
Batuan karbonat terbentuk melalui proses
biologis, biokimia dan presipitasi anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu
cekungan (Scoffin, 1987). Menurut (Pirson, 1958), batuan karbonat terbentuk
pada lingkungan laut dangkal, dimana pada lingkungan tersebut tidak terjadi
pengendapan material asal daratan. Hal ini memungkinkan pertumbuhan organisme
laut misalnya koral, ganggang, bryozoa,
dan sebagainya. Cangkang-cangkang dari organisme tersebut mengandung
mineral aragonit yang kemudian berubah menjadi mineral kalsit. Proses
pembentukan batuan karbonat akan terus berlangsung, bila keadaan laut relatif
dangkal. Hal ini dapat terjadi bila ada keseimbangan antara pertumbuhan
organisme dan penurunan dasar laut tempat terbentuknya batuan tersebut,
sehingga dapat menghasilkan batuan karbonat yang tebal.
Sementara
menurut (Landes, 1959), selain dipengaruhi oleh lingkungan laut dangkal dan
tanpa adanya pengendapan material asal daratan, pembentukan batuan karbonat
membutuhkan lingkungan pengendapan dengan syarat-syarat khusus sebagai berikut:
a.
Dasar laut yang relatif datar dan
stabil.
b.
Kedalaman laut yang dangkal.
c.
Suhu air yang relatif hangat (± 38° C).
d.
Ombak yang tidak begitu besar.
e.
Tidak ada arus yang besar dan kuat.
f.
Kegaraman air laut sekitar 13% (permil).
4.
Proses diagnesa sangat berperan dalam
menentukan bentuk dan karakter akhir batuan sedimen yang dihasilkannya. Proses
diagenesa akan menyebabkan perubahan material sedimen. Perubahan yang terjadi
adalah perubahan fisik, mineralogi dan kimia. Pada batuan karbonat, diagenesa
merupakan proses transformasi menuju batugamping atau dolomit yang lebih
stabil. Faktor yang menentukan karakter akhir produk diagenesa antara lain :
a.
Komposisi sedimen mula-mula
b.
Sifat alami fluida interstitial dan
pergerakannya
c.
Proses kimia dan fisika yang bekerja
selama diagenesa
PUSTAKA
http://mandeleyev-rapuan.blogspot.co.id/2012/10/batuan-karbonat.html
http://amriyogi.blogspot.co.id/2014/01/diagenesis-batuan-karbonat.html
http://geo-logist.blogspot.co.id/2014/09/tugas-batuan-karbonat.html
http://dokumen.tips/download/link/klasifikasi-batuan-karbonat
https://hasangf.wordpress.com/2014/03/31/proses-proses-diagenesa-batuan-karbonat/
Batuan Karbonat
Reviewed by dailytips
on
February 28, 2017
Rating:
No comments