STRATIGRAFI GUNUNG API "FASIES GUNUNG API PURBA GAJAHMUNGKUR"
Gunung
api purba Gajahmungkur terletak di Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri,
Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Secara umum, daerah Gajahmungkur dikenal
karena bendungan / waduk Gajahmungkur dan penambangan emas yang dikelola
penduduk setempat. Selain itu, wilayah ini juga menjadi tempat kunjungan
lapangan bagi mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan ilmu kebumian,
khususnya geologi. Batuan gunung api penyusun daerah ini terdiri atas batuan
intrusi dalam (deep seated intrusion), intrusi dangkal (sub volcanic
intrusion), dan batuan ekstrusi (extrusive igneous rocks). Batuan ini
dikelompokkan ke dalam Formasi Mandalika (Surono et al., 1992), namun dalam
keterangannya tidak disebutkan asal-usul dan hubungan antara batuan intrusi dan
batuan ekstrusinya. Di pihak lain (Hartono, 2010) menyatakan bahwa batuan
tersebut berasal dari kegiatan gunung api purba Gajahmungkur, dan hubungan
antara batuan intrusi dan batuan ekstrusinya merupakan satu kesatuan proses
gunung api. Hal ini dapat ditelusuri berdasarkan komposisi kimia batuan dan
fasies gunung apinya.Erosi terhadap batuan setempat dan penggalian yang
dilakukan manusia selama ini dapat membantu memperjelas keberadaan tubuh gunung
api utamanya yaitu fasies pusat dan fasies proksi. Fasies pusat merupakan
lokasi dimana batuan pijar dan gas keluar ke permukaan bumi, atau dikenal
dengan kawah, sedangkan fasies proksi merupakan daerah dimana aliran lava dan
piroklastika diendapkan. Pemahaman ini penting dalam kaitannya dengan pokok
bahasan makalah ini yaitu geologi gunung api purba Gajahmungkur. Makalah ini
merupakan pembelajaran dengan metode pendekatan volkanologi fisik yang sudah
dilakukan penulis sejak tahun 2000, yaitu melakukan pengukuran fragmen
piroklastika, kemiringan asli, penghitungan volume dan diameter fenokris
mineral,dan didukung oleh data sekunder berupa data petrologi-geokimia dan umur
geologi.
Stratigrafi
Stratigrafi daerah Gunung Gajahmungkur, Wonogiri telah diteliti oleh para ahli geologi
(Misal: Sartono, (1990), Surono, et al., (1992); Tabel 1). Sartono (1990)
menyebutkan bahwa penerapan prinsip tektonostratigrafi dapat menyelesaikan
permasalahan batuan sedimen yang diendapkan pada umur Eosen – Miosen Bawah di
Pegunungan Selatan, Jawa Tengah – Jawa Timur. Breksi gunung api dianggap
sebagai onggokan sedimen yang mengalami peluncuran sebagai satuan delapsi,
sedangkan batuan intrusi yang mengintrusinya dipisahkan, sehingga terkesan
tidak ada hubungan genesis diantaranya. Surono et al., (1992) melaporkan bahwa
Formasi Mandalika yang disusun oleh lava berkomposisi andesit – dasit, tuf
dasit dengan retas diorit merupakan formasi tertua di daerah Gunung
Gajahmungkur. Kemudian secara selaras menjari di atasnya diendapkan Formasi
Semilir yang disusun oleh tuf, breksi batuapung dasit, batupasir tuf dan
serpih. Di atas formasi ini diendapkan secara tidak selaras Formasi Oyo yang
dikuasai oleh tuf andesit, napal tuf sebagai batuan hasil rombakan, dan diikuti
oleh batugamping, dan batugamping napal yang mewakili Formasi Wonosari.
Struktur
geologi yang dijumpai umumnya sesar (patahan) yang mempunyai arah umum
Baratdaya – Timur laut dan sebagian Baratlaut – Tenggara, dan setempat yaitu di
sekitar Baturetno dijumpai sayap-sayap antiklin atau sinklin. Secara umum
struktur yang terbentuk di Kabupaten Wonogiri secara langsung di pengaruhi oleh
tektonik dan sejarah geologi yang terjadi di P. Jawa.
Di
tepi jalan di sebelah barat Waduk Gajah Mungkur banyak dijumpai singkapan
seperti di jembatan kecamatan Purwantoro yang memperlihatkan sedimentasi
endapan vulkanik (pyroclastys). Salah satunya singkapan tersebut adalah
struktur diapir. Di bawah singkapan tersebut terdapat satu lapisan tuff
berbutir kasar yang terendapkan di dasar laut sebagai lapisan lapili. Di atas
lapisan lapili ini suatu lapisan debu vulkanik diendapkan dan semua ini
tertutup oleh satu lapisan lapili lagi. Berat jenis dari lapisan lapili lebih
besar daripada debu vulkanik, sehingga ada situasi yang tidak stabil, sehingga
lapisan lapili akan menekan lapisan debu ke bawah. Di samping perbedaan berat
jenis masing-masing lapisan, ada satu sifat lain yang berbeda, yaitu sifat
plastis. Debu yang basah dengan porositas tinggi akan berubah bentuk dengan
mudah. Keadaan ini terjadi pada lapisan endapan vulkanik tersebut. Lapisan debu
akan berubah enjadi cairan kental yang akan mengalir secara plastis. Aliran
plastis tersebut dibantu oleh tekanan dari atas. Akhirnya terjadi pembengkakan
yang dibentuknya seperti jamur, atau membentuk struktur diapir. Jika aliran
plastis itu tertekan terus-menerus, maka lapisan lapili yang ada diatasnya
dapat tertembus aliran debu vulkanis.
Selain
diapir dan penembusan lapisan atas, load casts dapat dilthat juga. Load casts
pada singkapan ini adalah bahan lapili dan lapisan atas yang turun sebagai bola
dalam bahan debu, hanya oleh karena perbedaan jenis beratnya. Struktur sedimen
mi sering ditemui bila ada lapisan pasir diendapkan di atas lapisan lempung
atau lanau yang lembek, dan mudah berubah bentuknya.
Fenomena
yang menarik pada singkapan ini adalah pembentukan diapir yang tidak hanya
dapat terjadi pada skala kecil, bahkan juga pada skala besar yang ratusan
kilometer. Diapir kecil biasanya muncul pada lapisan lempung, sedangkan diapir
besar muncul jika batu evaporit terkubur di bawah sedimen biasa. Di. Jawa,
struktur diapir atau sejenisnya dapat ditemukan di kaki gunungapi. Gunungapi ml
terletak di atas sedimen Tersier yang relatif plastis. Karena gaya berat
gunungapi itu sendiri menyebabkan tekanan yang besar pada lapisan sedimen
Tersier tersebut, sehingga terjadi struktur diapir.
Di
sebelah barat Waduk Wonogiri (Cakaran), di sepanjang jalan raya, banyak batuan
vulkanik tersingkap yang berumur Miosen Bawah. Di lokasi Cakaran kita dapat
menemui lapili dengan warna terang; warna abu-abu sampai putih. Ini adalah
light coloured acid tuffs and ash dan kadang-kadang juga pumiceous ash yang
terutama terdiri atas mineral feldspar dan kuarsa. Di Cakaran dan banyak tempat
lain, lapili dan debu vulkanik sudah mengeras sampai tuff, sehingga batuan ini
dapat digergaji dan dijual untuk bangunan. Tuff ini dihasilkan selama erupsi
yang dinamakan “Peleean” yang berbeda dan erupsi biasa, karena debu dan lapili,
panas maupun dingin, terlempar ke luar dari kawah. Erupsi ‘Peleean’ disertai
oleh gas vulkanik yang sangat panas dan turbulent. Dalam literatur peristiwa
ini sering disebut nuee ardente atau glowing cloud, yaitu debu dan lapili yang bersinar
panas dalam awan gas yang turbulen dan panas. Awan ini dapat mencapai kecepatan
yang mendekati 100 km/jam ketika turun dari kawah ke kaki gunungapi.
Suhu
yang tinggi dan gerakan gas turbulen menyebabkan vegetasi di lereng gunungapi
hancur total dan berubah menjadi arang. Pada tuff di Cakaran seringkali sisa
arang dapat dilihat yang tampak tercampur dalam awan panas dengan debu dan
lapili. Campuran ini menunjukkan betapa turbulen awan gasnya. Semacam erupsi
hampir selalu terjadi pada gunungapi yang tertutup dengan lava yang sangat
kental (viscous lava dome) seperti di Merapi. Di bawah lava yang kental dalam
saluran utama ke bawah, tekanan gas akan naik sampal ada letusan besar atau
tubuh gunungapi terbongkar, sehingga gas ini keluar.
Aktivitas
ekonomi yang ada berupa pengambilan batu tuff vulkanik. Batu ini terdiri atas
dua bentuk, yaitu untuk bahan bangunan dan untuk batu pagar. Dalam kegiatan
pengambilan batu seorang tenaga kerja satu hari mendapat 2 batang batu pilar
dengan harga Rp 1000,-/pilar, sedangkan bata bangunan setiap rit sekitar 4 atau
5 meter kubik dengan harga tidak menentu. Usaha pengambilan batu tuff mempunyai
tujuan ganda, yaitu pertama untuk diambil batunya, kedua untuk meratakan
sebagal persiapan lahan pekarangan atau rencana bangunan.
Penggunaan
lahan di sebelah kanan jalan menuju Wonogiri berupa areal Waduk Wonogini, dan
sebelah kiri jalan sebagái daerah pertanian dengan tanaman padi dan polowijo.
Karena topografi kasar dan sumber air yang terbatas, maka produksi pertanian
juga rendah.
Waduk
Wonogiri terletak pada formasi batuan yang cukup stabil yang tersusun oleh
breksi dan batu pasir. Fungsi waduk adalah untuk pengendali banjir, pengairan,
pembangkit tenaga listrik, dan rekreasi. Tipe bendung pada Waduk Wonogiri
adalah tipe urug.
Waduk
ini kalau ditinjau dan fungsinya sebagai reservoir air kurang tepat karena
sedimentasinya sangat cepat. Sedimentasi yang sangat cepat tersebut disebabkan
oleh lahan kritis yang sangat luas di daerah hulunya. Sumber air waduk ini
berasal dari 8 anak sungai, yaitu S.Keduang, S.Wiroko, S.Temon, Bengawan Solo
Hulu, S.Alang, S.Ngrancah (S. Ngrowo), dan S.Wuryantoro. Tinggi muka air
tertinggi adalah 127 m, muka air terendah 127 m; volume waduk: 750 x 106 m³
luas genangan 8.000 Ha.
Waduk
Wonogiri merupakan waduk serbaguna yang juga sebagai daerah wisata alam air
dengan kegiatan naik perahu dan memancing. Di tengah-tengah waduk ini terdapat
jalur rute Panglima Besar Jendral Sudirman waktu melakukan gerilya, yang
ditandai dengan tugu-tugü di tengah waduk.
Di
sebelah utara Kota Wonogiri dijumpai Bengawan Solo yang mengalirkan airya pada
suatu lembah yang lebar. Dan lembah ini ke arah selatan-barat gawir-gawir sesar
(fault-scarps) dan zone selatan dapat dilihat. Lembah Bengawan Solo sudah
tennasuk Zone Tengah Pulau Jawa. Dengan jelas tampak balok-balok sesar turun
secara gravitasi-tektonik (gravity tectonics) melalui sesar turun dengan bidang
yang melengkung (concave fault planes). Semua itu adalah reaksi terhadap
pengangkatan Plato Wonosari pada kala Plestosen Tengah, yang berkaitan dengan
pengangkatan-berkubah (updoming/uparching) Zone Tengah sebelum kegiatan
vulkanik regional mulai. Balok-balok sesar yang turun melalui sesar-sesar
sering mengalami rotasi terputar balik (backward rotation along curve slip
faults).
Dalam
lembah ini balok-balok dan zone selatan masih kelihatan sebagai pulau di tengah
dataran aluvial. Bukit-bukit ini juga terjadi dari bahan vulkanik berumur
Miosen Bawah. Geologinya kelihatan masuk tuff masam (acid tuffs) sampai
ignimbrit dengan kristal besar. Tuff kristal ini juga menunjukkan pengendapan
dalam keadaan panas. Ada suatu sifat yang menarik, yaitu tuff ini mengandung
kalsium karbonat. Tetapi kalsium karbonat harus sekunder, sebab tuff yang masih
panas bila jatuh dalam laut tidak akan membentuk kristal. Barangkali sumber
kalsium karbonat adalah Formasi Wonosari yang secara stratigrafis terletak di
atas tuff-tuff ini. Kalsium karbonat terdapat pula di dalam urat (veins) dan
barik-barik (veinlets), mungkin ini sudah membuktikan, bahwa kalsiurn karbonat
adalah sekunder. Di daerah ini terdapat suatu sisa intrusi diorit bukit ini
diberi nama Gunung Tenong (Tim Fakultas Geografi UGM, 1996 : 96-101).
Secara
bentang alam, gunung api yang berbentuk kerucut dapat dibagi menjadi daerah
puncak, lereng, kaki, dan dataran di sekelilingnya. Pemahaman ini kemudian
dikembangkan oleh Williams dan McBirney (1979) untuk membagi sebuah kerucut
gunung api komposit menjadi 3 zone, yakni Central Zone, Proximal Zone, dan
Distal Zone. Central Zone disetarakan dengan daerah puncak kerucut gunung api,
Proximal Zone sebanding dengan daerah lereng gunung api, dan Distal Zone sama
dengan daerah kaki serta dataran di sekeliling gunung api. Namun dalam
uraiannya, kedua penulis tersebut sering menyebut zone dengan facies, sehingga
menjadi Central Facies, Proximal Facies, dan Distal Facies. Pembagian fasies
gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981) serta Bogie dan
Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok, yaitu Central/Vent Facies, Proximal
Facies, Medial Facies, dan Distal Facies .Sesuai dengan batasan fasies gunung
api, yakni sejumlah ciri litologi (fisika dan kimia) batuan gunung api pada
suatu lokasi tertentu, maka masing-masing fasies gunung api tersebut dapat
diidentifikasi berdasarkan data:
- inderaja dan geomorfologi,
- stratigrafi batuan gunung api,
- vulkanologi fisik,
- struktur geologi, serta
- petrologi-geokimia.
Pembagian fasies gunung api menjadi fasies
sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distalbeserta komposisi
batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie, 1998).
Batuan utama yang menyusun daerah Gunung
Gajahmungkur berasal usul dari kegiatan gunung api berupa koheren lava dan
batuan piroklastika (Hartono, 2010). Koheren lava yang terdiri dari batuan
intrusi dangkal (sill, retas), aliran lava, dan kubah lava menempati daerah
pusat erupsi dan atau dekat pusat erupsi. Kedua daerah ini dalam ilmu
kegunungapian dikenal dengan Fasies Pusat (SF) dan atau Fasies Proksi (PF)
gunung api
Fasies
Pusat dicerminkan oleh adanya kubah lava pada gunung api masa kini, sedangkan
pada gunung api purba atau tua umumnya ditunjukkan oleh adanya batuan yang
telah mengalami alterasi dan bahkan telah terbentuk mineralisasi, dan adanya
batuan sebagai sisa cryptodomes. Secara bentang alam gunung api, fasies ini
memperlihatkan daerah cekungan sebagai akibat perlakuan erosi permukaan, dan sering
memperlihatkan bentang alam tonjolan di bagian dalam suatu bentang alam
setengah melingkar atau bentang alam berbentuk bulan sabit. Di sisi lain, pola
struktur geologi yang terbentuk memperlihatkan pola memencar atau radier. Hal
ini cerminan dari adanya proses inflasi dan deflasi pergerakan magma ke
permukaan bumi pada waktu gunung api aktif. Proses tersebut akan berlanjut pada
pembentukan pola radier batuan intrusi dangkal (sill, retas) di fasies proksi
tubuh gunung api.
Fasies
Proksi dicerminkan oleh perselingan antara aliran lava dengan piroklastika
berupa tuf maupun lapili tuf, dan kadang diterobos atau diintrusi oleh sill
maupun retas. Secara umum fasies ini dibangun oleh material primer Gunung
Gajahmungkur yang mengendap di sekitar kawah hingga pada bagian punggung gunung
api. Batas Fasies Proksi ini ditandai oleh jarak terjauh endapan aliran lava
dari pusat erupsinya dan umumnya diendapkan secara sektoral ke arah tertentu
mengikuti arah bukaan maupun secara radier atau memencar, dan sebaran batuannya
tergantung tipe letusannya. Material gunungapi yang menyusun fasies ini umumnya
resisten dan membentuk tinggian mengikuti bentuk tubuhnya yang kerucut (cone
shapes). Bentuk bentang alam tersebut sering memperlihatkan bentuk simetri dan
di bagian dalam maupun tengahnya dijumpai adanya bentuk kerucut sisa leher
gunung api (volcanic neck) ataupun berupa retas.
Kedua
fasies gunung api, Fasies Pusat dan Fasies Proksi dibangun oleh Formasi
Mandalika yang umumnya dikenal dengan sebutan Formasi Andesit Tua (van
Bemmelen, 1949), sedangkan Formasi Semilir yang mengandung banyak pumis atau
batuapung mewakili tubuh gunung api Fasies Medial. Kelompok batuan yang
terendapkan di atasnya merupakan bagian tubuh gunung api Fasies Distal atau
komponen batuan rombakan yang jaraknya paling jauh dari pusat erupsi. Keempat
fasies gunung api seperti yang ditunjukkan di atas tidak semuanya dijumpai di
Gunung Gajahmungkur. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan hilangnya batuan
penyusun karena terbongkar waktu erupsi, tererosi, dan mungkin tertutup oleh
massa batuan yang terbentuk sesudahnya. Struktur geologi yang
membangun daerah Gunung Gajahmungkur berupa struktur utama yang berarah
baratlaut – tenggara, dan beberapa berarah relatif timurlaut – baratdaya.
Struktur geologi ini mempunyai arti penting terhadap munculnya gunung api
Gajahmungkur pada waktu itu karena struktur geologintersebut melibatkan batuan
dasar (basement). Regim regangan yang terjadi setelah berlangsungnya regim
kompresi dari suatu model tegasan membentuk jalur atau ruang sehingga cairan
magma dapat mencapai permukaan bumi (Sudarno, 1997; Bronto, 2009; Hartono,
2010). Widagdo (2006) menyebutkan adanya hubungan yang erat antara struktur
geologi dengan endapan mineral logam yang terbentuk pada urat-urat kuarsa. Pola
urat-urat kuarsa tersebut merupakan manisfestasi dari proses deformasi batuan.
Kenampakan
bentang alam tinggian Gunung Gajahmungkur memperlihatkan bentuk relief kasar
dan membentuk setengah melingkar menyerupai bentuk bulan sabit (half
moon). Relief kasar tersebut ditunjukkan oleh adanya beda tinggi yang besar
(150 – 650 mdpl.), dan kemiringan yang terjal (25o – 90o).
Relief kasar dan kemiringan batuan berkaitan dengan resistensi batuan breksi
pumis yang banyak mengandung mineral kuarsa. Mineral kuarsa merepresentasikan
jumlah kandungan unsur utama SiO2 (60,23 – 64,34 % berat) ini menunjukkan bahwa
magma Gunung Gajahmungkur telah mengalami proses diferensiasi lanjut. Artinya
magma yang awalnya berkomposisi basa berubah menjadi asam, dan mempunyai banyak
kandungan gas, serta mempunyai kecenderungan meletus dahsyat. Bukti dari
pernyataan tersebut adalah tersingkapnya batuan beku dalam (diorit amfibol –
piroksin) berkomposisi asam – menengah, melimpahnya breksi pumis yang
berkomposisi dasit. Hal tersebut juga dapat dikaitkan dengan erupsi Gunung
Gajahmungkur pada waktu menghasilkan kelompok batuan yang menyusun Formasi
Semilir berenergi sangat kuat (Indek Letusan Gunung Api/VIE > 6) yaitu melimpahnya
volume tefra, breksi ko-ignimbrit, terdapatnya fragmen skis sebagai indikasi
kepingan batuan dasar yang ikut terlempar ke permukaan bumi, dan masa erupsi
yang panjang. Hal yang terakhir ini karena tidak dijumpainya batuan produk
lelehan berupa aliran lava di dalam Formasi Semilir.
Pada
bagian dalam bentang alam setengah melingkar dibangun oleh bentuk kerucut
Gunung Tenong yang mencerminkan sisa tubuh kepundan Gunung Gajahmungkur. Sisa
kepundan tersebut berupa batuan beku plutonik berkomposisi diorit piroksin –
amfibol. Secara ilmu kegunungapian fenomena bentang alam ini mengindikasikan
bahwa lokasi ini sebagai sisa tubuh gunung api purba yang telah mengalami
pelapukan dan tererosi lanjut. Di sisi lain, bentuk setengah melingkar tersebut
berhubungan dengan diameter kawah yang terbentuk setelah bagian puncak hingga
punggung Gunung Gajahmungkur. terbongkar karena erupsi dahsyat yang diikuti
terbentuknya kaldera Gajahmungkur. Hal lain
yang mendukung adalah proses erosi, namun sangat kecil pengaruhnya dalam
pembentukan lembah kawah purbanya. Kenampakan mikroskopis batuan plutonik
sebagai batuan kepundan Gunung Gajahmungkur dapat ditunjukkan oleh tekstur
holokristalin faneroporfiritik, bentuk kristal yang euhedral, diameter besar
(> 1,5 mm) dan komposisi mineral menengah – asam, sedangkan batuan yang
membangun bentang alam melingkar ditunjukkan oleh tekstur hipokristalin
porfiroafanitik hingga bertekstur gelas
Kenampakan
petrografis ini memperjelas adanya perbedaan tekstur batuan dan kesamaan
komposisi batuan yang dibangun di dalam tubuh Gunung Gajahmungkur dan di
permukaan bumi. Hal ini memberikan pemahaman bahwa terdapat kesatuan proses
antara batuan intrusi dan batuan ekstrusi, serta proses pengendapannya.
Sementara itu, adanya fragmen batuan metamorf di dalam breksi pumis dapat
memberikan pencerahan tentang tekanan, temperatur, dan kedalaman batuan dasar
terjadi.
Jenis
batuan dan jarak penyebaran batuan gunung api di daerah Gunung Gajahmungkur
menunjukkan tingkat erupsinya. Artinya erupsi meletus akan menghasilkan jenis
batuan dan jarak pengendapan lebih jauh dibandingkan dengan produk erupsi
meleleh. Di sisi lain, erupsi yang tidak dapat mencapai permukaan bumi akan
menghasilkan batuan intrusi dangkal yang jarak pengendapannya berdekatan atau
di sekitar dengan korok magma yang umumnya berpola memancar/radier. Hal
tersebut berhubungan dengan penentuan batas jarak terluar setiap fasies gunung
api yang terbentuk, namun tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lain yang
menyertainya seperti komposisi magma, viskositas magma, kelerengan asli, dll.
Hasil pengukuran dan analisis terhadap berbagai jenis batuan gunung api di
Gunung Gajahmungkur (Hartono, 2010) terdapat tiga fasies utama gunung api yaitu
fasies pusat, fasies proksi, dan fasies medial (Gambar 6).
Pembangunan
tubuh kerucut Gunung Gajahmungkur diawali oleh pembentukan aliran lava dengan
struktur bantal (pillow), yang menunjukkan terbentuknya gunung api di
lingkungan air. Gunung api yang selama hidupnya hanya menghasilkan satu jenis
batuan dikenal dengan nama gunung api monogenesis. Bentang alam gunung api monogenesis
ini umumnya menyendiri, berupa bukit kecil dan berilief halus. Secara
volkanologi pembentukan bentang alam ini berkaitan dengan tipe letusan meleleh
atau efusif. Pembangunan tubuh Gunung Gajahmungkur mengalami perubahan menjadi
gunung api poligenesis yang ditunjukkan oleh pembangunan tubuh kerucut gunung
api yang disusun oleh perselingan berbagai jenis batuan gunung api. Hal ini
berkaitan dengan tipe erupsi efusif, erupsi tipe strombolian hingga volkanian.
Perkembangan bentang alam gunung api Gajahmungkur diperkirakan mencapai
puncaknya pada pembentukan kaldera yaitu penghancuran tubuh gunung api bagian
atas melalui letusan paroksimal tipe plinian.
Berdasarkan
uraian dan penjelasan sebelumnya dapat memberikan pemahaman tentang adanya
suksesi terbentuknya gunung api purba Gajahmungkur, Wonogiri. Suksesi tersebut
dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari fase awal ke fase akhir dalam
pembangunan tubuh gunung apinya (Gambar 7). Suksesi Gunung Gajahmungkur
memperlihatkan perubahan fase pembangunan awal yang ditandai dengan munculnya
aliran lava bantal, dan kemudian diteruskan fase pembangunan kedua yang
ditandai dengan pembangunan tubuh kerucut gunung api, dan diakhiri oleh fase
penghancuran sebagian tubuh gunung apinya sendiri yang ditunjukkan hilangnya
bagian puncak kerucutnya.
PUSTAKA
Bronto,
2006.
Fasies Gunungapi dan Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1.
Hartono,
2011.
GEOLOGI GUNUNG API PURBA GAJAHMUNGKUR, WONOGIRI, JAWA TENGAH, Jurnal Ilmiah
MTG, Vol 4.
STRATIGRAFI GUNUNG API "FASIES GUNUNG API PURBA GAJAHMUNGKUR"
Reviewed by dailytips
on
February 28, 2017
Rating:
Ijin bertanya, di Wonogiri kota terdapat batu besar yang terlihat di sangga oleh pohon bernama Plintheng Semar. Apakah ada kemungkinan batu besar tersebut merupakan material lepas dari letusan gunung gadjah Mungkur? Dan satu lagi ada beberapa batu besar yang berada di atas bukit gunung gandul di kecamatan Wonogiri, apakah batu tersebut kemungkinan juga material lepas dari letusan gunung gadjah Mungkur?
ReplyDelete